Konstruksi sosial yang menuntut pria untuk “selalu kuat” berdampak tragis: data WHO secara konsisten menunjukkan pria memiliki tingkat bunuh diri yang jauh lebih tinggi. Namun, sebagai masyarakat, kita perlu bergerak melampaui pernyataan umum ini untuk memahami di mana masalah ini paling parah.
Catatan Penting: Konten berikut membahas isu sensitif terkait bunuh diri dan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran serta pemahaman. Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal membutuhkan dukungan, harap segera hubungi layanan bantuan profesional.
Seri Risiko Bunuh Diri Global (WHO)
- Benarkah Jepang dan Korea Memiliki Tingkat Bunuh Diri Tertinggi di Dunia?
- Benarkah Pria Memiliki Risiko Lebih Tinggi Dibandingkan Wanita?
- Kelompok Usia Mana yang Paling Membutuhkan Perhatian?
- Apakah Negara Berpendapatan Rendah Lebih Rentan Bunuh Diri?
Prioritas Tersembunyi dalam Kesenjangan
Sekadar menyatakan “pria lebih berisiko” adalah penyederhanaan. Visualisasi data memungkinkan kita melihat lebih dalam: di mana kesenjangan ini paling ekstrem, dan kelompok pria mana yang paling butuh prioritas?
Visualisasi dumbbell plot di bawah ini tidak hanya membandingkan pria (biru) dan wanita (merah), tetapi juga menyoroti magnitudo kesenjangan melalui panjang garis penghubung. Semakin panjang garisnya, semakin besar jurang pengalaman antara pria dan wanita di negara tersebut. Anda bisa melihat bagaimana negara-negara di Eropa Timur seperti Rusia, Belarusia, dan Lithuania menunjukkan kesenjangan yang sangat lebar. Ini menandakan adanya tekanan sosial spesifik gender yang sangat kuat dan menjadi prioritas intervensi yang jelas: pria di wilayah ini menghadapi badai sempurna antara ekspektasi maskulinitas yang kaku dan kemungkinan kurangnya akses ke dukungan yang sesuai.
"Akar masalahnya seringkali adalah keengganan pria untuk mencari bantuan."
- Jeffrey S. Nevid, Abnormal Psychology: In a Changing World
Kutipan di atas terasa sangat personal karena ini bukan kegagalan individu, melainkan cerminan dari sistem yang belum menyediakan jalur bantuan yang tepat. Inilah peluang bagi para inovator di industri kesehatan.
Visualisasi Data
Mendesain Ulang Jalur Bantuan untuk Pria
Data ini memaksa kita untuk bertanya: “Bagaimana cara kita menciptakan ruang aman bagi pria untuk mencari dukungan tanpa merasa dihakimi?” Analisis ini mengungkap beberapa area kebutuhan yang krusial:
- Kebutuhan akan Bahasa yang Berbeda: Membingkai ulang kesehatan mental dari “terapi” menjadi “pelatihan mental” atau “strategi membangun ketangguhan”.
- Kebutuhan akan Koneksi Sebaya (Peer Connection): Platform yang memfasilitasi pertukaran strategi praktis antar sesama pria.
- Kebutuhan akan Solusi Berbasis Aksi: Pendekatan yang aktif memberikan alat dan langkah-langkah konkret untuk mengelola stres.
Kesimpulan: Dari Data Gender ke Intervensi Tepat Sasaran
Memahami bahwa pria berisiko lebih tinggi adalah langkah pertama. Namun, data menunjukkan bahwa prioritas intervensi harus kita tujukan pada pria di wilayah dengan kesenjangan gender terbesar. Solusi yang kita tawarkan pun tidak bisa “satu untuk semua”; harus dirancang khusus dengan bahasa, format, dan pendekatan yang sesuai dengan cara pria menghadapi tekanan—dengan fokus pada solusi, kekuatan, dan koneksi otentik.
Baca artikel lain tentang Insight Psikologi
Referensi
Nevid, J. S. (2012). Abnormal Psychology: In a Changing World. Pearson Education.
Penelusuran Terkait
- WHO highlights urgent need to prevent suicide in the European Region
- Men and mental health - American Psychological Association
- Male mental health: How to close the gender gap - World Economic Forum
- The Stigma Surrounding Men's Mental Health: How To Break The Cycle - Forbes
- 2021 National Survey on Drug Use and Health - SAMHSA
- Toxic masculinity and suicide: a systematic review - The Lancet Psychiatry
- A public health approach to prevent suicide in men - Nature Medicine
- Mental Fitness - Calm Blog