Konstruksi sosial yang menuntut pria untuk “selalu kuat” berdampak tragis: data WHO secara konsisten menunjukkan pria memiliki tingkat bunuh diri yang jauh lebih tinggi. Namun, sebagai masyarakat, kita perlu bergerak melampaui pernyataan umum ini untuk memahami di mana masalah ini paling parah.

Catatan Penting: Konten berikut membahas isu sensitif terkait bunuh diri dan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran serta pemahaman. Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal membutuhkan dukungan, harap segera hubungi layanan bantuan profesional.

Seri Risiko Bunuh Diri Global (WHO)

Prioritas Tersembunyi dalam Kesenjangan

Sekadar menyatakan “pria lebih berisiko” adalah penyederhanaan. Visualisasi data memungkinkan kita melihat lebih dalam: di mana kesenjangan ini paling ekstrem, dan kelompok pria mana yang paling butuh prioritas?

Visualisasi dumbbell plot di bawah ini tidak hanya membandingkan pria (biru) dan wanita (merah), tetapi juga menyoroti magnitudo kesenjangan melalui panjang garis penghubung. Semakin panjang garisnya, semakin besar jurang pengalaman antara pria dan wanita di negara tersebut. Anda bisa melihat bagaimana negara-negara di Eropa Timur seperti Rusia, Belarusia, dan Lithuania menunjukkan kesenjangan yang sangat lebar. Ini menandakan adanya tekanan sosial spesifik gender yang sangat kuat dan menjadi prioritas intervensi yang jelas: pria di wilayah ini menghadapi badai sempurna antara ekspektasi maskulinitas yang kaku dan kemungkinan kurangnya akses ke dukungan yang sesuai.

"Akar masalahnya seringkali adalah keengganan pria untuk mencari bantuan."

- Jeffrey S. Nevid, Abnormal Psychology: In a Changing World

Kutipan di atas terasa sangat personal karena ini bukan kegagalan individu, melainkan cerminan dari sistem yang belum menyediakan jalur bantuan yang tepat. Inilah peluang bagi para inovator di industri kesehatan.

Visualisasi Data

Mendesain Ulang Jalur Bantuan untuk Pria

Data ini memaksa kita untuk bertanya: “Bagaimana cara kita menciptakan ruang aman bagi pria untuk mencari dukungan tanpa merasa dihakimi?” Analisis ini mengungkap beberapa area kebutuhan yang krusial:

  • Kebutuhan akan Bahasa yang Berbeda: Membingkai ulang kesehatan mental dari “terapi” menjadi “pelatihan mental” atau “strategi membangun ketangguhan”.
  • Kebutuhan akan Koneksi Sebaya (Peer Connection): Platform yang memfasilitasi pertukaran strategi praktis antar sesama pria.
  • Kebutuhan akan Solusi Berbasis Aksi: Pendekatan yang aktif memberikan alat dan langkah-langkah konkret untuk mengelola stres.

Kesimpulan: Dari Data Gender ke Intervensi Tepat Sasaran

Memahami bahwa pria berisiko lebih tinggi adalah langkah pertama. Namun, data menunjukkan bahwa prioritas intervensi harus kita tujukan pada pria di wilayah dengan kesenjangan gender terbesar. Solusi yang kita tawarkan pun tidak bisa “satu untuk semua”; harus dirancang khusus dengan bahasa, format, dan pendekatan yang sesuai dengan cara pria menghadapi tekanan—dengan fokus pada solusi, kekuatan, dan koneksi otentik.

Baca artikel lain tentang Insight Psikologi

Referensi

Nevid, J. S. (2012). Abnormal Psychology: In a Changing World. Pearson Education.

Penelusuran Terkait