Loading 0%

Risiko Bunuh Diri Global (WHO): Benarkah Pria Memiliki Risiko Lebih Tinggi Dibandingkan Wanita?

  .... Views
 316 words  2 min
Risiko Bunuh Diri Global (WHO): Benarkah Pria Memiliki Risiko Lebih Tinggi Dibandingkan Wanita?

Dari berbagai media, kita sering kali mendengar bahwa pada umumnya pria mengalami tekanan mental yang lebih tinggi dibandingkan wanita. Hal ini dapat disebabkan oleh konstruksi sosial yang menuntut pria untuk selalu tampil kuat, tangguh, dan tidak menunjukkan emosi secara terbuka. Tekanan untuk memenuhi ekspektasi tersebut sering kali membuat pria enggan mencari bantuan saat menghadapi masalah emosional atau psikologis, yang pada akhirnya dapat menumpuk dan berdampak serius terhadap kesehatan mental mereka.

Konstruksi sosial yang menuntut pria untuk selalu “kuat” dan menyembunyikan kerapuhan emosional telah lama menjadi diskusi. Data WHO secara global mengonfirmasi dampak tragis dari tekanan ini: di hampir setiap negara, pria memiliki tingkat bunuh diri yang jauh lebih tinggi dibandingkan wanita.

Catatan Penting: Konten berikut membahas isu sensitif terkait bunuh diri dan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran serta pemahaman. Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal membutuhkan dukungan, harap segera hubungi layanan bantuan profesional.

Seperti dijelaskan Jeffrey S. Nevid dalam Abnormal Psychology, akar masalahnya seringkali adalah keengganan pria untuk mencari bantuan. Ini bukanlah kegagalan individu, melainkan sinyal adanya kebutuhan akan jalur alternatif menuju dukungan kesehatan mental.

Mengartikulasikan Kebutuhan yang Berbeda

Data ini memaksa kita untuk bertanya: “Bagaimana cara menciptakan ruang aman bagi pria untuk mencari dukungan tanpa merasa dihakimi?” Analisis ini mengungkap beberapa area kebutuhan yang krusial:

  • Kebutuhan akan Bahasa yang Berbeda: Ada kebutuhan untuk membingkai ulang kesehatan mental. Daripada menggunakan istilah klinis seperti “terapi” atau “konseling”, pendekatan yang berfokus pada “pelatihan mental”, “peningkatan performa”, atau “strategi membangun ketangguhan” mungkin akan lebih diterima.
  • Kebutuhan akan Koneksi Sebaya (Peer Connection): Pria mungkin lebih terbuka untuk berbagi dan belajar dari pengalaman sesama pria yang menghadapi tantangan serupa. Ini menunjukkan adanya kebutuhan untuk platform atau komunitas yang memfasilitasi pertukaran strategi praktis, bukan sekadar luapan emosi.
  • Kebutuhan akan Solusi Berbasis Aksi: Pria seringkali lebih berorientasi pada solusi. Karenanya, dibutuhkan pendekatan yang tidak hanya pasif mendengarkan, tetapi juga aktif memberikan alat, teknik, dan langkah-langkah konkret yang bisa langsung diterapkan untuk mengelola stres atau kesulitan.

Memahami kebutuhan ini adalah fondasi untuk merancang intervensi yang efektif bagi populasi pria.

Visualisasi Data

Referensi

  • Nevid, J. S. (2012). Abnormal Psychology: In a Changing World. Pearson Education.

WHO