Sesuatu hal yang menarik adalah mengapa orang-orang tetap membeli meskipun dibungkusnya telah tertera jika “rokok dapat membunuhmu”?. Meskipun kita tidak bisa pungkiri jika nikotin dapat menyebabkan adiksi yang memengaruhi perilaku perokok untuk terus mengulangi kebiasaan tersebut, fokus kita kali ini adalah pada fenomena peningkatan jumlah perokok itu sendiri.
Menurut rspj.ihc.id berdasarkan data terbaru dari GATS ( Global Adult Tobacco Survey ) pada tahun 2021 dikonfirmasi dalam dekade terakhir terjadi peningkatan signifikan dalam jumlah perokok dewasa di Indonesia, yaitu sebanyak 8,8 juta orang. Angka ini mencatat total perokok dewasa di Indonesia mencapai 69,1 juta orang pada tahun 2021.

Berdasarkan bukti peningkatan jumlah perokok tersebut, kita dapat memahami bahwa kampanye anti-rokok belum sepenuhnya berhasil dalam mencapai tujuannya. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, seperti kampanye kesehatan, peringatan pada bungkus rokok, dan regulasi pembatasan iklan, nyatanya jumlah perokok dewasa di Indonesia justru meningkat beberapa tahun yang lalu. Di sini, kita akan membahas latar belakang psikologi bagaimana suatu produk dapat diterima meskipun dianggap berbahaya bagi kesehatan.

Mirror Neurons

Mirror neurons atau dikenal dengan neuro cermin merupakan sel otak yang berperan penting dalam proses belajar dan interaksi sosial. Sel-sel ini aktif, baik saat seseorang melakukan tindakan tertentu maupun saat mengamati orang lain melakukan tindakan yang sama. Aktivasi neuron cermin ini memungkinkan kita untuk membayangkan tindakan yang kita amati seolah-olah kita sendiri yang melakukannya. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat eksperimen di berikut ini.
Eksperimen Rizzolatti

Eksperimen ini dipimpin oleh seorang ilmuan Italia yang bernama Giacomo Rizzolati. Ia beserta timnya mencoba mempelajari otak dari spesies monyet jenis Macaque pada tahun 1992. Rizzolatti dan timnya mempelajari aktivitas otak monyet Macaque, khususnya pada area saraf premotor. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi neuron-neuron spesifik yang aktif ketika monyet melakukan tindakan tertentu, seperti mengambil objek.
Sebuah kejadian tak terduga mengubah arah penelitian ini. Suatu siang, setelah jam makan siang, seorang mahasiswa kembali ke ruang observasi sambil membawa es krim. Seekor monyet yang terhubung ke monitor aktivitas otak mengamati mahasiswa tersebut. Ketika mahasiswa itu mulai memakan es krimnya, monitor menunjukkan lonjakan aktivitas pada neuron premotor monyet, seolah-olah monyet itu sendiri yang sedang makan es krim. Padahal, monyet tersebut hanya melihat.

Peristiwa inilah yang menjadi titik balik penemuan mirror neurons. Rizzolatti dan timnya menyimpulkan bahwa neuron-neuron tertentu di otak monyet tidak hanya aktif ketika melakukan tindakan, tetapi juga ketika mengamati tindakan yang sama dilakukan oleh individu lain. Neuron inilah yang kemudian dikenal sebagai neuron cermin, yang merefleksikan tindakan yang dilihat seolah dilakukan sendiri.
Eksperimen Lindsay Rand & Jonah Berger
Dengan topik yang sama namun berlawanan, Lindsay dan Jonah melakukan eksperimen inovatif di asrama-asrama mahasiswa untuk menguji pengaruh identitas sosial terhadap konsumsi minuman keras. Mereka merancang poster-poster yang secara visual menggambarkan konsekuensi negatif dari minum minuman keras, bukan pada kesehatan, tetapi pada citra diri.
Poster-poster tersebut menampilkan gambar individu yang tampak tidak menarik, lelah, atau berantakan, disertai pesan provokatif seperti “Anda akan terlihat seperti orang ini jika meminum minuman keras.”

Penelitian ini berhasil. Dibandingkan dengan kampanye-kampanye anti-minuman keras tradisional yang berfokus pada risiko kesehatan yang diuji pada kelompok yang berbeda, pendekatan yang menargetkan citra diri ini terbukti lebih efektif. Temuan ini mengindikasikan bahwa mahasiswa lebih termotivasi oleh kekhawatiran akan penilaian sosial dan penampilan mereka di mata orang lain daripada oleh potensi dampak kesehatan yang akan ditimbulkan akibat konsumsi minuman keras.
Contoh Kasus
Pernahkah Anda menonton serial Popaye si Pelaut? Serial kartun klasik ini, yang sangat populer di kalangan anak-anak pada masanya, Anda pasti ingat saat ditampilkan adegan ikonik di mana Popeye memakan sekaleng bayam untuk mendapatkan kekuatan super secara instan. Penggambaran bayam sebagai sumber kekuatan ini ternyata memiliki dampak nyata. Di tengah krisis ekonomi, popularitas serial “Popeye” mendorong lonjakan penjualan bayam di Amerika Serikat hingga 33%, terutama karena serial ini berhasil meningkatkan konsumsi bayam di kalangan anak-anak.

Anak-anak yang pada umumnya membenci sayur, dibuat tertarik untuk mencoba dan bahkan menyukai bayam karena diasosiasikan dengan kekuatan dan kepahlawanan Popeye. Menyaksikan fenomena ini, komunitas petani bayam terbesar di Amerika, Crystal City, Texas, memberikan penghormatan yang unik. Mereka mendirikan patung Popeye sebagai bentuk apresiasi atas jasa sang karakter fiksi dalam mempromosikan konsumsi bayam secara luas dan meningkatkan penjualan secara signifikan.
Tentang Merokok
Kembali ke pertanyaan awal yang kita bahas sebelumnya, apakah larangan merokok benar-benar efektif? Jawabannya mungkin lebih kompleks daripada sekadar ya atau tidak. Selama adegan merokok dalam media populer secara terus-menerus digambarkan sebagai sesuatu yang menarik, keren, atau bahkan memberontak, rokok akan tetap ada. Citra rokok yang positif ini, diperkuat oleh penggambaran dalam film, musik, atau media lainnya, dapat menciptakan asosiasi kuat dalam pikiran orang, terutama remaja dan dewasa muda.
Rekomendasi Bisnis
Inilah sebabnya mengapa investasi pada celebrity endorser (CE) dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap social proof. Ketika seorang selebriti menggunakan atau mempromosikan produk tertentu, kita cenderung berasumsi bahwa produk tersebut memiliki kualitas, nilai, atau daya tarik tersendiri. Hal ini terjadi karena aktivasi neuron cermin dalam otak kita menciptakan semacam koneksi emosional dengan selebriti tersebut. Kita seolah-olah merasakan pengalaman mereka menggunakan produk, dan ini meningkatkan kecenderungan kita untuk memilih produk yang sama.
Namun, efektivitas penggunaan CE sangat bergantung pada segmentasi pasar yang tepat. Anggaran pemasaran harus dialokasikan secara strategis untuk memilih CE yang benar-benar resonate dengan target konsumen dan mampu membentuk citra merek (brand image) yang diinginkan. Dengan kata lain, pemilihan CE tidak boleh sembarangan, melainkan harus didasarkan pada kesesuaian antara citra selebriti, nilai produk, dan aspirasi target audiens.
Referensi
Jonah Berger.(2014). Invisible Influence : The Hidden Forces That Shape Behavior. Googe Book